Biografi Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Keenam Republik Indonesia

Nama : Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono

Lahir : Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949

Agama :
Islam

Istri : Kristiani Herawati,
putri ketiga almarhum Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo

Anak :
Agus Harimurti Yudhoyono dan
Edhie Baskoro Yudhoyono

Ayah:
Letnan Satu (Peltu) R. Soekotji

Ibu:
Sitti Habibah

Pangkat terakhir :
Jenderal TNI (25 September 2000)

Pendidikan:

= Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 1973
= American Language Course, Lackland, Texas AS, 1976
= Airbone and Ranger Course, Fort Benning , AS, 1976
= Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983
= On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983
= Jungle Warfare School, Panama, 1983
= Antitank Weapon Course di Belgia dan Jerman, 1984
= Kursus Komando Batalyon, 1985
= Sekolah Komando Angkatan Darat, 1988-1989
= Command and General Staff College, Fort = Leavenwort,Kansas, AS
Master of Art (MA) dari Management Webster University, Missouri, AS

Karier:
- Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (1974-1976)
- Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad (1976-1977)
- Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977)
- Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978)
- Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981)
- Paban Muda Sops SUAD (1981-1982)
- Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)
- Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988)
- Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988)
- Dosen Seskoad (1989-1992)
- Korspri Pangab (1993)
- Dan Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994)
- Asops Kodam Jaya (1994-1995)
- Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995)
- Chief Military Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (sejak awal November 1995)
- Kasdam Jaya (1996-hanya lima bulan)
- Pangdam II/Sriwijaya (1996-) sekaligus Ketua Bakorstanasda
- Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998)
- Kepala Staf Teritorial (Kaster ABRI (1998-1999)
- Mentamben (sejak 26 Oktober 1999)
- Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid)
- Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri) mengundurkan diri 11 Maret 2004

Penugasan:
Operasi Timor Timur (1979-1980), dan 1986-1988
Penghargaan:
- Adi Makayasa (lulusan terbaik Akabri 1973)
- Honorour Graduated IOAC, USA, 1983
- Tokoh Berbahasa Lisan Terbaik, 2003.

Alamat :
Jl. Alternatif Cibubur Puri Cikeas Indah
No. 2 Desa Nagrag Kec. Gunung Putri Bogor-16967

Susilo Bambang Yudhoyono (1)
Presiden RI Pertama Pilihan Rakyat


Ini dia Presiden Republik Indonesia pertama hasil pilihan rakyat secara langsung. Lulusan terbaik Akabri (1973) yang akrab disapa SBY dan dijuluki 'Jenderal yang Berpikir', ini berenampilan tenang, berwibawa serta bertutur kata bermakna dan sistematis. Dia menyerap aspirasi dan suara hati nurani rakyat yang menginginkan perubahan yang menjadi kunci kemenangannya dalam Pemilu Presiden putaran II 20 September 2004.

Berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden, paduan dwitunggal ini menawarkan program memberikan rasa aman, adil dan sejahtera kepada rakyat. Pasangan ini meraih suara mayoritas rakyat Indonesia (hitungan sementara 61 persen), mengungguli pasangan Megawati Soekarnoputri - KH Hasyim Muzadi.

Popularitas dengan enampilan yang tenang dan berwibawa serta tutur kata yang bermakna dan sistematis telah mengantarkan SBY pada posisi puncak kepemimpinan nasional. Penampilan publiknya mulai menonjol sejak menjabat Kepala Staf Teritorial ABRI (1998-1999) dan semakin berkibar saat menjabat Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid) dan Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri).

Ketika reformasi mulai bergulir, SBY masih menjabat Kaster ABRI. Pada awal reformasi itu, TNI dihujat habis-habisan. Pada saat itu, sosok SBY semakin menonjol sebagai seorang Jenderal yang Berpikir. Ia memahami pikiran yang berkembang di masyarakat dan tidak membela secara buta institusinya. "Penghujatan terhadap TNI itu menurut saya tak lepas dari format politik Orde Baru dan peran ABRI waktu itu," katanya. Maka, Tokoh Indonesia DotCom menjulukinya sebagai 'mutiara di atas lumpur'.

Banyak orang mulai tertarik pada sosok militer yang satu ini. Pada saat institusi TNI dan oknum-oknum militernya dibenci dan dihujat, sosok SBY malah mencuat bagai butiran permata di atas lumpur. (Hampir sama dengan pengalaman Jenderal Soeharto, ketika enam jenderal TNI diculik dalam peristiwa G-30-S/PKI, 'the smiling jeneral' itu berhasil tampil sebagai 'penyelamat negeri' dan memimpin republik selama 32 tahun. Sayang, kemudian jenderal berbintang lima ini terjebak dalam budaya feodalistik dan kepemimpinan militeristik. Pengalaman Pak Harto ini, tentulah berguna sebagai guru yang terbaik bagi pemimpin nasional negeri ini).

Lulusan Terbaik


Siapakah Susilo Bambang Yudhoyono yang berhasil meraih pilihan suara hati nurani rakyat pada era reformasi dan demokratisasi itu?

Pensiunan jenderal berbintang empat berwajah tampan dan cerdas, ini adalah anak tunggal dari pasangan R. Soekotji dan Sitti Habibah. Darah prajurit menurun dari ayahnya R. Soekotji yang pensiun sebagai Letnan Satu (Peltu). Sementara ibunya, Sitti Habibah, putri salah seorang pendiri Ponpes Tremas, mendorongnya menjadi seorang penganut agama Islam yang taat. Dalam dirinya pun mengalir kental jiwa militer yang relijius.

Selain itu, lulusan terbaik Akademi Militer (Akmil) angkatan 1973, ini juga memiliki garis darah biru, sebagai keturunan bangsawan Jawa yang mengalir dari dua arah dan berujung pada Majapahit dan Sultan Hamengkubuwono II. Kakeknya dari pihak ayah, bernama R. Imam Badjuri, adalah anak dari hasil pernikahan Kasanpuro (Naib Arjosari II - darah biru Majapahit) dan RM Kustilah ( sebagai turunan kelima trah Sultan Hamengkubuwono II bernama asli RA Srenggono). Bahkan dalam silsilah lengkapnya, SBY juga memiliki garis keturunan dari Pakubuwono.

Kendati SBY anak tunggal, dia hidup dengan prihatin dan kerja keras. Pada saat sekolah di Sekolah Rakyat Gajahmada (sekarang SDN Baleharjo I), SBY tinggal bersama pamannya, Sasto Suyitno, ketika itu Lurah Desa Ploso, Pacitan. Prestasinya saat SR sudah menonjol.

Dalam proses pengasuhan yang berdisiplin keras, pada masa kecil dan remajanya, SBY juga mengasah dan menyalurkan bakat sebagai penulis puisi, cerpen, pemain teater dan pemain band.

Pria tegap yang memiliki tinggi badan sekitar 175 cm, kelahiran Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949, ini senang mengikuti kegiatan kesenian seperti melukis, bermain peran dalam teater dan wayang orang. Beberapa karya puisi dan cerpennya sempat dikirimkan ke majalah anak-anak waktu itu, misalnya ke Majalah Kuncung. Sedangkan aktivitas bermain band masih dilaksanakan hingga tingkat satu Akabri Darat sebagai pemegang bas gitar. Sesekali masih juga menulis puisi.

Di samping kesenian, ia juga menyukai dunia olah raga seperti bola voli, ia senang travelling, baik jalan kaki, bersepeda atau berkendaraan. Sedangkan olah raga bela diri hingga saat ini masih aktif dilakukan.

Tekadnya menjadi prajurit mengental saat kelas V SR (1961) berkunjung ke AMN di kampus Lembah Tidar Magelang.

"Saya tertarik dengan kegagahan sosok-sosok taruna AMN yang berjalan dan berbaris dengan tegap waktu itu. Ketika rombongan wisata singgah ke Yogyakarta, saya sempatkan membeli pedang, karena dalam bayangan saya, tentara itu membawa pedang dan senjata," kenang SBY.

Mewarisi sikap ayahnya yang berdisiplin keras, SBY berjuang untuk mewujudkan cita-cita masa kecilnya menjadi tentara dengan masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) setelah lulus SMA akhir tahun 1968. Namun, lantaran terlambat mendaftar, SBY tidak langsung masuk Akabri. Maka dia pun sempat menjadi mahasiswa Teknik Mesin Institut 10 November Surabaya (ITS).

Namun kemudian, SBY malah memilih masuk Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) di Malang, Jawa Timur. Selagi belajar di PGSLP Malang itu, ia pun mempersiapkan diri untuk masuk Akabri.

Tahun 1970, dia pun masuk Akabri di Magelang, Jawa Tengah, setelah lulus ujian penerimaan akhir di Bandung. SBY satu angkatan dengan Agus Wirahadikusumah, Ryamizard Ryacudu, dan Prabowo Subianto. Semasa pendidikan, SBY yang mendapat julukan Jerapah, sangat menonjol. Terbukti, dia meraih predikat lulusan terbaik Akabri 1973 dengan menerima penghargaan lencana Adhi Makasaya.

Saat menempuh pendidikan di Akademi Militer, itu, SBY berkenalan dengan Kristiani Herrawati, putri Sarwo Edhie. Saat itu, Mayjen Sarwo Edhi Wibowo, menjabat Gubernur Akabri. Perkenalan terjadi saat SBY menjabat sebagai Komandan Divisi Korps Taruna.

Perkenalan itu berlanjut dengan berpacaran, bertunangan dan pernikahan. Mereka dikarunia dua orang putra Agus Harimurti Yudhoyono (mengikuti dan menyamai jejak dan prestasi SBY, lulus dari Akmil tahun 2000 dengan meraih penghargaan Bintang Adhi Makayasa) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (lulusan terbaik SMA Taruna Nusantara, Magelang yang kemudian menekuni ilmu ekonomi).

Pendidikan militernya dilanjutkan di Airborne and Ranger Course di Fort Benning, Georgia, AS (1976), Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, Georgia, AS (1982-1983) dengan meraih honor graduate, Jungle Warfare Training di Panama (1983), Anti Tank Weapon Course di Belgia dan Jerman (1984), Kursus Komandan Batalyon di Bandung (1985), Seskoad di Bandung (1988-1989) dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, AS (1990-1991). Gelar MA diperoleh dari Webster University AS.

Karir Militer

Dalam meniti karir, SBY sangat mengidolakan Sarwo Edhi yang tidak lain adalah bapak mertuanya sendiri. Dalam pandangannya, Sarwo Edhi adalah seorang prajurit sejati. Jiwa dan logika kemiliterannya amat kuat. Selain belajar strategi, taktik, dan kepemimpinan militer, mertuanya itu amat sederhana dalam hidup dan teguh dalam memegang prinsip-prinsip yang diyakini.

Perjalanan karier militernya, dimulai dengan memangku jabatan sebagai Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (Komandan Peleton III di Kompi Senapan A, Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Kostrad) tahun 1974-1976, membawahi langsung sekitar 30 prajurit.


Batalyon Linud 330 merupakan salah satu dari tiga batalyon di Brigade Infantri Lintas Udara 17 Kujang I/Kostrad, yang memiliki nama harum dalam berbagai operasi militer. Ketiga batalyon itu ialah Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Batalyon Infantri Lintas Udara 328/Dirgahayu, dan Batalyon Infantri Lintas Udara 305/Tengkorak.


SBY, sebagai komandan peleton, giat berlatih bersama anak buahnya sehingga peletonnya sering kali menjadi andalan bagi Kompi A dalam setiap kegiatan latihan bersama kompi-kompi lainnya di tingkat batalyon. Selain itu, ia juga mendapat tugas tambahan memberi les pengetahuan umum dan bahasa Inggris bagi semua anggota batalyon.

Kefasihan berbahasa Inggris, membuatnya terpilih mengikuti pendidikan lintas udara (airborne) dan pendidikan pasukan komando (ranger) di Pusat Pendidikan Angkatan Darat Amerika Serikat, Ford Benning, Georgia, 1975.

Kemudian sekembali ke tanah air, ia memangku jabatan Komandan Peleton II Kompi A Batalyon Linud 305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad) tahun 1976-1977. Dia pun memimpin Pleton ini bertempur di Timor Timur.

Sepulang dari Timor Timur, ia menjadi Komandan Peleton Mortir 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977). Setelah itu, ia ditempatkan sebagai Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978), Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981), dan Paban Muda Sops SUAD (1981-1982).

Ketika bertugas di Mabes TNI-AD, itu SBY kembali mendapat kesempatan sekolah ke Amerika Serikat. Dari tahun 1982 hingga 1983, ia mengikuti Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983 sekaligus praktek kerja-On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983. Kemudian mengikuti Jungle Warfare School, Panama, 1983 dan Antitank Weapon Course di Belgia dan Jerman, 1984, serta Kursus Komando Batalyon, 1985. Pada saat bersamaan dia menjabat Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)

Lalu dia dipercaya menjabat Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988) dan Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988), sebelum mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando TNI-AD (Seskoad) di Bandung dan keluar sebagai lulusan terbaik Seskoad 1989.

Dia pun sempat menjadi Dosen Seskoad (1989-1992), dan ditempatkan di Dinas Penerangan TNI-AD (Dispenad) dengan tugas antara lain membuat naskah pidato KSAD Jenderal Edi Sudradjat. Lalu ketika Edi Sudradjat menjabat Panglima ABRI, ia ditarik ke Mabes ABRI untuk menjadi Koordinator Staf Pribadi (Korspri) Pangab Jenderal Edi Sudradjat (1993).

Lalu, dia kembali bertugas di satuan tempur, diangkat menjadi Komandan Brigade Infantri Lintas Udara (Dan Brigif Linud) 17 Kujang I/Kostrad (1993-1994) bersama dengan Letkol Riyamizard Ryacudu. Kemudian menjabat Asops Kodam Jaya (1994-1995) dan Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995).

Tak lama kemudian, dia dipercaya bertugas ke Bosnia Herzegovina untuk menjadi perwira PBB (1995). Ia menjabat sebagai Kepala Pengamat Militer PBB (Chief Military Observer United Nation Protection Force) yang bertugas mengawasi genjatan senjata di bekas negara Yugoslavia berdasarkan kesepakatan Dayton, AS antara Serbia, Kroasia dan Bosnia Herzegovina.

Setelah kembali dari Bosnia, ia diangkat menjadi Kepala Staf Kodam Jaya (1996), hanya sekitar lima bulan. Saat itu Pangdam Jaya dijabat Mayjen TNI Sutiyoso, yang menggantikan Mayjen TNI Wiranto yang diangkat menjadi Panglima Kostrad. Pada saat menjabat sebagai Kasdam Jaya, terjadi peristiwa 27 Juli 1996, yang menyeret namanya menjadi salah seorang saksi dalam pengungkapan kasus tersebut.

Kemudian dia menjabat Pangdam II/Sriwijaya (1996-1997) sekaligus Ketua Bakorstanasda dan Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998) sebelum menjabat Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI (1998-1999). Penampilan publiknya mulai menonjol saat menjabat Kepala Staf Teritorial ABRI tersebut.

Pada masa menjabat Kaster ABRI ini reformasi mulai bergulir. TNI dihujat habis-habisan. Pada saat itu, sosok SBY semakin menonjol sebagai seorang Jenderal yang Berpikir. Ia memahami pikiran yang berkembang di masyarakat dan tidak membela secara buta institusinya. Dia pun berperan banyak dalam upaya mereposisi peran TNI (ABRI). Rafermasi TNI dimulai pada masa ini.

Karir Politik

Sementara, langkah karir politiknya dimulai tanggal 27 Januari 2000, saat memutuskan untuk pensiun lebih dini dari militer ketika dipercaya menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Ketika itu ia masih berpangkat letnan jenderal dan akhirnya pensiun dengan pangkat jenderal kehormatan.

Tak lama kemudian, SBY pun terpaksa meninggalkan posisinya sebagai Mentamben karena Gus Dur memintanya menjabat Menkopolsoskam untuk menggantikan Jenderal Wiranto yang terpaksa mengundurkan diri sebagai Menkopolsoskam.

Popularitasnya semakin berkibar saat menjabat Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid) dan Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri).

Tugas terberatnya sebagai Menko Polkam adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia bahwa keamanan di Indonesia dapat diwujudkan. Faktor keamanan inilah yang sering dijadikan investor asing untuk membatalkan rencana investasinya di Indonesia. Sedangkan dari dalam negeri, masyarakat sering kali merasa was-was dengan berbagai gangguan seperti teror bom yang kerap terjadi.

Persoalan lainnya adalah, upaya menghentikan pertikaian di daerah konflik, yang secara perlahan memperlihatkan kemajuan. Namun, karena besarnya masalah yang dihadapi, keberhasilan tugasnya itu sering tidak ditanggapi serius. Masih banyak pekerjaan besar menunggu untuk segera diselesaikan.

Menghadapi tugas berat, ternyata menjadi bagian sejarah hidup SBY yang sebelum menjadi menteri sempat diprediksi bakal menjadi orang nomor satu di lingkungan militer. Ketika Presiden KH Abdurrahman Wahid berkuasa, ia sempat diberi tugas untuk melobi keluarga mantan Presiden Soeharto. Maksud langkah persuasif yang dilakukannya itu agar keluarga cendana bersedia memberikan sebagian hartanya kepada rakyat dan bangsa. Khususnya untuk membawa pulang harta keluarga Soeharto yang diperkirakan masih tersimpan di luar negeri. Padahal saat itu masyarakat tengah menunggu dengan seksama hasil peradilan orang kuat Orde Baru tersebut.

Presiden Wahid pada awal tahun 2001 pernah memintanya untuk membentuk Crisis Centre. Dalam lembaga nonstruktural ini Presiden Wahid meminta Yudhoyono menjabat sebagai Ketua Harian dan menempatkan pusat informasi atau kegiatan (operation centre) di kantor Menko Polsoskam. Lembaga baru ini berfungsi untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden Wahid dalam menjawab berbagai persoalan. Termasuk di antaranya sikap Kepala Negara dalam merespon pemberian dua memorandum oleh DPR.

Kisah ketika dia menjabat Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid) mengukir kisah tersendiri.
Walau berulang kali menerima kepercayaan bukan berarti Yudhoyono ‘lembek’ dalam menghadapi Presiden Wahid. Ketika terdengar kabar Presiden Wahid ngotot akan menerbitkan dekrit pembubaran DPR, maka, bersama Panglima TNI Laksamana Widodo AS dan jajaran petinggi TNI lainnya, ia meminta Gus Dur mengurungkan niatnya.

Puncaknya, pada 28 Mei 2001, bersama beberapa menteri tidak merekomendasikan rencana Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Dekrit Presiden. Bahkan tidak bersedia melaksanakan Maklumat Presiden yang menugaskannya sebagai Menkopolsoskam untuk mengambil langkah-langkah yang perlu untuk mengatasi krisis, memelihara keamanan, ketertiban dan hukum.

Akibatnya ia diberhentikan dengan hormat dari jabatan Menkopolsoskam pada 1 Juni 2001, kerena menolak rencana Presiden mengeluarkan Dekrit. Ketika ia ditawari jabatan Menteri Perhubungan atau Menteri Dalam Negeri namun ditolaknya.

Lalu pada Sidang Istimewa MPR-RI, 25 Juli 2001, ia dicalonkan memperebutkan jabatan Wakil Presiden yang lowong setelah Megawati Soekarnoputri dipilih menjadi presiden. Ia bersaing dengan Hamzah Haz dan Akbar Tandjung.

Pada 10 Agustus 2001, Presiden Megawati mempercayai dan melantiknya menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong-Royong. Dia pun tampak menjalankan tugasnya dengan baik. Salah satu pelaksanaan tugasnya adalah mengumumkan pemberlakuan status darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada 19 Mei 2003, serta proses penyelesaian konflik Ambon dan Poso.

Hal itu sangat menguntungkan SBY yang sudah berancang-ancang untuk merebut kursi presiden. Kemudian popularitasnya makin memuncak. Pertama kali dia masuk bursa calon presiden, ketika Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia menimangnya menjadi salah satu kandidat calon presiden dan wakil presiden. Kemudian, Partai Demokrat yang dibidani dan didirikan bersama beberapa koleganya menyebutnya sebagai calon presiden, bukan calon wakil presiden.

Lalu iklan damainya muncul di berbagai stasiun televisi. Ia pun menjawab pertanyaan wartawan yang menanyakan soal tidak dilibatkannya dia dalam beberapa kegiatan kabinet yang menyangkut masalah politik dan keamanan. Lalu, suami Presiden Megawati, Taufik Kiemas menyebutnya kekanak-kanakan karena dinilai melapor kepada wartawan bukan kepada presiden (1/3/2004). Ia pun beruntung karena pers dan beberapa pengamat membangun opini bahwa ia sedang ditindas oleh Taufik Kiemas, suami Megawati.

Dalam pada itu, dua kali rapat kordinasi bidang Polkam batal dilakukan karena ketidakhadiran para menteri terkait. Tampaknya para menteri terkait tak lagi mempercayai dan menurutinya. Lalu pada 9 Maret 2004, dia pun menyurati Presiden Megawati mempertanyakan kewenangannya sekaligus minta waktu bertemu. Namun, Presiden tidak menjawab surat itu. Mensesneg Bambang Kusowo kepada pers mengatakan tidak seharusnya seorang menteri (pembantu presiden) mesti membuat surat meminta bertemu dengan presiden. Dia pun diundang mengahadiri rapat menteri terbatas. Tapi ia tidak datang.

Ia merasa suratnya tak ditanggapi. Lalu pada 11 Maret 2004, ia memilih mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam karena merasa kewenangannya sebagai Menko Polkam telah diambil-alih oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Pada situasi itu, M. Jusuf Kalla, yang menjabat Menko Kesra, menemuinya. Lalu, malam harinya, di sebuah hotel, ia bertemu Abdurrahman Wahid yang diisukan sudah sejak beberapa waktu menimangnya menjadi calon presiden dari PKB.

Jenderal yang simpatik, tampan, mudah senyum dan memikat banyak perempuan ini, ketika mengumumkan permintaan pengunduran dirinya, mengatakan "Sesuai dengan hak politik saya, jika nanti pada saatnya ada partai politik, katakanlah Partai Demokrat dan dengan gabungan partai lain yang mengusulkan saya sebagai calon presiden, insya Allah saya bersedia."

Keputusan pengunduran dirinya dinilai berbagai pihak suatu keputusan yang elegan. Dalam perjalanan kariernya, Yudhoyono, memang selalu ingin tampak elegan baik dalam bertutur maupun bersikap. Sikap itu terlihat dalam beberapa peristiwa penting yang melibatkan langsung menantu Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo itu.

Langkah pengunduran diri ini dinilai berbagai pihak membuatnya lebih leluasa menjalankan hak politik yang akan mengantarkannya ke kursi puncak kepemimpinan nasional. Polling TokohIndonesia DotCom menempatkannya sebagai calon wakil presiden yang paling puncak.

Dwitunggal SBY-JK

Proses pengunduran dirinya yang terkesan akibat tersisihkan dalam Kabinet Megawati telah mengangkat populeritasnya. Popularitasnya semakin menonjol. Ia seorang yang beruntung memiliki popularitas politik menggungguli para tokoh poltik lainnya yang justru sebelumnya meminangnya sebagai Calon Wakil Presiden. Popularitasnya telah mendongkrak perolehan suara Partai Demokrat pada Pemilu legislatif 2004 yang menduduki peringkat lima dan mengantarkannya menjadi calon presiden.

Tak lama setelah Pemilu Legislatif April 2004, SBY pun secara resmi meminta kesediaan M. Jusuf Kalla mendampinginya sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Pasangan ideal ini dicalonkan Partai Demokrat, PKPI dan PBB.

Pada Pemilu Presiden putaran pertama 5 Juli 2004, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla ini memperoleh 39.838.184 suara (33,574 persen) diikuti pasangan Megawati-Hasyim Muzadi 31.569.104 suara (26,60 persen). Kedua pasangan itu maju ke Pemilu Presiden tahap kedua 20 September 2004.

Sementara perolehan suara tiga pasangan Capres-Cawapres lainnya yakni di urutan tiga Wiranto-Salahuddin Wahid meraih 26,286,788 suara (22,154%), urutan empat Amien Rais-Siswono Yudo Husodo 17,392,931suara (14,658%), dan urutan lima Hamzah Haz-Agum Gumelar 3,569,861suara (3,009%).

Dalam aturan main Pemilu Presiden ditetapkan jika dalam putaran pertama tidak ada pasangan Capres-Cawapres yang meraih 50% + 1n suara dengan sedikitnya 20 persen di setiap provinsi dan tersebar lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, maka peraih suara terbanyak 1 dan 2 ditetapkan untuk maju ke putaran kedua Pemilu Presiden.

Hasil rekapitulasi penghitungan suara dari 32 provinsi ditambah hasil pemilu di luar negeri, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya 121.293.844 orang, atau 78,22 persen dari pemilih terdaftar 155.048.803, lebih rendah dari pemilu legislatif yang 84,07 persen.

Pasangan Yudhoyono-Jusuf meraih kemenangan di 17 provinsi, termasuk di luar negeri. Pasangan Megawati-Hasyim mengungguli pasangan calon lainnya di enam provinsi. Pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid meraih kemenangan di tujuh provinsi. Pasangan Amien Rais-Siswono Yudo Husodo meraih kemenangan di dua provinsi. Pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar tidak memenang di satu pun provinsi.

Kemudian pada Pemilu Presiden putara kedua 20 September 2004, SBY-JK meraih kepercayaan mayoritas rakyat Indonesia dengan perolehan suara di attas 60 persen, mengungguli pasangan Mega-Hasyim yang meraih kurang dari 40 persen suara.

Tinggal di Istana

Menjawab pertanyaan wartawan (24/9/2004), akan tinggal di mana setelah dilantik menjadi presiden, SBY menjawab: "Istana. Saya memilih akan tinggal di sana setelah dilantik." Pilihannya beserta keluarga untuk tinggal di Istana Negara didasarkan pada alasan akan lebih efisien dan efektif bagi pelaksanaan tugasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Menurutnya, di istana akan memudahkan pengaturan kegiatan. Tidak akan terlalu menghambat lalu lintas, pengamanan akan lebih mudah, tamu-tamu akan mudah pengaturan dan pendataannya, dan demi penghematan juga. "Kalau saya tinggal di luar istana, pasti diperlukan pembangunan sejumlah fasilitas yang sebetulnya tidak diperlukan jika saya tinggal di istana," katanya.

Susilo Bambang Yudhoyono (2)
Pilihan Suara Rakyat


Pilihan suara hati nurani rakyat akhirnya terbukti. Sebagian rakyat Indonesia, pada Pilpres putaran pertama, mempercayakan pilihannya kepada pasangan capres-cawapres Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla. Paduan figur pasangan ini menawarkan program memberikan rasa aman, adil, dan sejahtera kepada rakyat, telah memikat hati para pemilih kepada keduanya.

Pasangan itu kini siap-siap memasuki putaran terakhir pemilihan presiden, 20 September 2004. Siapakah sesungguhnya Susilo Bambang Yudhoyono yang sangat diidolakan rakyat dan mengapa pasangan itu berjodoh?

SBY, demikian ia akrab disapa. Gaya bicaranya tenang, sistematis, dan berwibawa. Kata-katanya jelas mencerminkan wawasan berpikirnya yang luas. Pantas saja para pengamat politik memberinya julukan: Jenderal yang Berpikir. Ia pun mendirikan Partai Demokrat yang kemudian memperoleh suara signifikan pada Pemilu 2004 dan menghantarkannya menjadi calon presiden.

Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Kabinet Gotong-Royong ini mengundurkan diri dari jabatannya karena merasa tidak dipercaya lagi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Surat permintaan pengunduran dirinya dikirim kepada Presiden, Kamis 11 Maret 2004 pagi, setelah sebelumnya ia menyurati presiden, mempersoalkan kewenangannya yang "dipreteli", tapi tidak ditanggapi oleh Megawati.

Pengunduran diri pria kelahiran Pacitan 9 September 1949 itu dilakukan setelah dua minggu kemelut politik terbuka dengan Megawati. Keputusan mundur dari kabinet itu tampaknya merupakan pemanasan dari kemelut panjang dalam kancah perebutan kekuasaan.

Yudhoyono, yang makin populer lewat iklan pemilu damainya di televisi, tampaknya telah memicu kemelut yang mengakibatkan orang-orang Megawati gerah.

Ketika mengumumkan permintaan pengunduran dirinya, SBY mengatakan, "Sesuai dengan hak politik saya, jika nanti pada saatnya ada partai politik, katakanlah Partai Demokrat dan dengan gabungan partai lain yang mengusulkan saya sebagai calon presiden, insya Allah saya bersedia." Berarti, ia siap bersaing dengan Megawati untuk merebut kursi kepresidenan di Pemilu 2004 ini.

Keputusan pengunduran dirinya dinilai berbagai pihak suatu keputusan yang elegan. Dalam perjalanan kariernya, Yudhoyono, memang selalu ingin tampak elegan baik dalam bertutur maupun bertindak. Sikap itu terlihat dalam beberapa peristiwa penting yang melibatkan langsung menantu Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo itu.

Proses pengunduran dirinya yang terkesan akibat tersisihkan dalam Kabinet Megawati telah mengangkat popularitasnya yang tercermin dalam perolehan suara Partai Demokrat pada Pemilu 2004 yang sangat signifikan, menduduki peringkat lima.

Ketika mantan Kepala Staf Teritorial Markas Besar Tentara Nasional Indonesia ini tanggal 27 Januari 2000 memutuskan untuk pensiun lebih dini ketika menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Ketika itu ia masih berpangkat letnan jenderal dan akhirnya pensiun dengan pangkat jenderal kehormatan.

Kemudian pada 28 Mei 2001, bersama beberapa menteri tidak merekomendasikan rencana Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Dekrit Presiden. Bahkan tidak bersedia melaksanakan Maklumat Presiden yang menugaskannya sebagai Menkopolsoskam untuk mengambil langkah-langkah yang perlu untuk mengatasi krisis, memelihara keamanan, ketertiban, dan hukum.

Akibatnya ia diberhentikan dengan hormat dari jabatan Menkopolsoskam pada 1 Juni 2001, kerena menolak rencana Presiden mengeluarkan Dekrit. Ketika ia ditawari jabatan Menteri Perhubungan atau Menteri Dalam Negeri, ia menolaknya.

Lalu pada Sidang Istimewa MPR-RI, 25 Juli 2001, ia dicalonkan memperebutkan jabatan Wakil Presiden yang lowong setelah Megawati Sukarnoputeri dipilih menjadi presiden. Ia bersaing dengan Hamzah Haz dan Akbar Tandjung. Ia kalah dengan alasan sederhana, tidak mempunyai kendaraan politik berupa partai.

Pada 10 Agustus 2001, Presiden Megawati mempercayai dan melantiknya menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong-Royong. Dia pun menjalankan tugasnya dengan baik. Salah satu pelaksanaan tugasnya adalah mengumumkan pemberlakuan status darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada 19 Mei 2003.

Kemudian popularitasnya makin memuncak. Pertama kali dia masuk bursa calon presiden, ketika Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) menimangnya menjadi salah satu kandidat calon presiden dan wakil presiden. Kemudian, Partai Demokrat menyebutnya sebagai calon presiden, bukan calon wakil presiden.

Lalu iklan damainya muncul di berbagai stasiun televisi. Ia pun menjawab pertanyaan wartawan yang menannyakan soal tidak dilibatkannya dia dalam beberapa kegiatan kabinet yang menyangkut masalah politik dan keamanan. Akibatnya, suami Presiden Megawati, Taufiq Kiemas menyebutnya kekanak-kanakan karena dinilai melapor kepada wartawan bukan kepada presiden (1/3/2004).

Dalam pada itu, dua kali rapat koordinasi bidang Polkam batal dilakukan karena ketidakhadiran para menteri terkait. Lalu pada 9 Maret 2004, dia pun menyurati Presiden Megawati mempertanyakan kewenangannya sekaligus minta waktu bertemu. Namun, Presiden tidak menjawab surat itu. Mensesneg Bambang Kusowo kepada pers mengatakan tidak seharusnya seorang menteri (pembantu presiden) mesti membuat surat meminta bertemu dengan presiden. Dia pun diundang menghadiri rapat menteri terbatas.

Tapi, merasa suratnya tak ditanggapi lalu pada 11 Maret 2004, ia memilih mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam karena merasa kewenangannya sebagai Menko Polkam telah diambil-alih oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Lalu, malam harinya, di sebuah hotel, ia bertemu Abdurrahman Wahid yang diisukan sudah sejak beberapa waktu menimangnya menjadi calon presiden dari PKB.

Langkah pengunduran diri ini dinilai berbagai pihak membuatnya lebih leluasa menjalankan hak politik yang akan menghantarkannya ke kursi puncak kepemimpinan nasional. Berbagai hasil polling memang selalu menempatkannya pada posisi terbaik, baik sebagai calon presiden apalagi sebagai calon wakil presiden. Polling TokohIndonesia DotCom, misalnya, ketika itu menempatkannya sebagai calon wakil presiden yang paling puncak.

Hasil jajak pendapat yang diselenggarakan Centre for Political Studies-Soegeng Sarjadi Syndicated, yang diumumkan Selasa 30/7/2002, nama Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono menduduki urutan teratas (15,5 persen) untuk menjadi wakil presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri (presiden) dan urutan kelima (5,4 persen) berpasangan dengan Amien Rais. Jajak pendapat ini melibatkan 4.133 responden yang rata-rata terpelajar di kota Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan dan Makassar,

Penampilan yang tenang dan berwibawa serta tutur kata yang bermakna dan sistematis telah mengantarkan SBY pada posisi yang patut sangat diperhitungkan dalam peta kepemimpinan nasional. Penampilan publiknya mulai menonjol sejak menjabat Kepala Staf Teritorial ABRI (1998-1999) dan semakin berkibar saat menjabat Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid) dan Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri).

Ketika reformasi mulai bergulir, SBY masih menjabat Kaster ABRI. Pada awal reformasi itu TNI dihujat habis-habisan. Pada saat itu, sosok SBY semakin menonjol sebagai seorang Jenderal yang Berpikir. Ia memahami pikiran yang berkembang di masyarakat dan tidak membela secara buta institusinya. "Penghujatan terhadap TNI itu menurut saya tak lepas dari format politik Orde Baru dan peran ABRI waktu itu," katanya.

Banyak orang mulai tertarik pada sosok militer yang satu ini. Pada saat institusi TNI dan oknum-oknum militernya dibenci dan dihujat, sosok SBY malah mencuat bagai butiran permata di atas lumpur. Siapa sesungguhnya SBY di masa sebelum ini?

Ia yang pada masa kecil dan remajanya adalah penulis puisi, cerpen, pemain teater, dan pemain band. Pria tegap kelahiran Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949 ini senang mengikuti kegiatan kesenian seperti melukis, bermain peran dalam teater dan wayang orang. Beberapa karya puisi dan cerpennya sempat dikirimkan ke majalah anak-anak waktu itu, misalnya ke Majalah Kuncung. Sedangkan aktivitas bermain band masih dilaksanakan hingga tingkat satu Akabri Darat sebagai pemegang bas gitar. Sesekali masih juga menulis puisi.

Disamping kesenian, ia juga menyukai dunia olah raga seperti bola voli, ia senang travelling, baik jalan kaki, bersepeda, atau berkendaraan. Sedangkan olah raga bela diri hingga saat ini masih aktif dilakukan.

Ia juga seorang penganut agama Islam yang taat. Darah prajurit Bapak berputra dua ini menurun dari ayahnya yang pensiun sebagai Letnan. Tekadnya sebagai prajurit kian kental saat kelas V SD (1961) berkunjung ke AMN di kampus Lembah Tidar Magelang. "Saya tertarik dengan kegagahan sosok-sosok taruna AMN yang berjalan dan berbaris dengan tegap waktu itu. Ketika rombongan wisata singgah ke Yogyakarta, saya sempatkan membeli pedang, karena dalam bayangan saya, tentara itu membawa pedang dan senjata," kenang SBY.

Pendidikan militernya dimulai di Akademi Militer Nasional (1970-1973). Ia adalah lulusan terbaik Akabri 1973 dengan menerima penghargaan Adi Makayasa. Pendidikan militernya dilanjutkan di Airborne and Ranger Course di Fort Benning, Georgia, AS (1976), Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, Georgia, AS (1982-1983) dengan meraih honor graduate, Jungle Warfare Training di Panama (1983), Anti Tank Weapon Course di Belgia dan Jerman (1984), Kursus Komandan Batalyon di Bandung (1985), Seskoad di Bandung (1988-1989) dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, AS (1990-1991). Gelar MA diperoleh dari Webster University AS.

Dalam meniti karir, SBY sangat mengidolakan Sarwo Edhie Wibowo yang tidak lain adalah mertuanya sendiri. Dalam pandangannya, Sarwo Edhie adalah seorang prajurit sejati. Jiwa dan logika kemiliterannya amat kuat. Selain belajar strategi, taktik, dan kepemimpinan militer, mertuanya itu amat sederhana dalam hidup dan teguh dalam memegang prinsip-prinsip yang diyakini.

Tugas terberatnya sebagai Menko Polkam adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia bahwa keamanan di Indonesia dapat diwujudkan. Faktor keamanan inilah yang sering dijadikan investor asing untuk membatalkan rencana investasinya di Indonesia. Sedangkan dari dalam negeri, masyarakat sering kali merasa was-was dengan berbagai gangguan seperti teror bom yang kerap terjadi.

Persoalan lainnya adalah, upaya menghentikan pertikaian di daerah konflik, yang secara perlahan memperlihatkan kemajuan. Namun, karena besarnya masalah yang dihadapi, keberhasilan tugasnya itu sering tidak ditanggapi serius. Masih banyak pekerjaan besar menunggu untuk segera diselesaikan.

Menghadapi tugas berat, ternyata menjadi bagian sejarah hidup SBY yang sebelum menjadi menteri sempat diprediksi bakal menjadi orang nomor satu di lingkungan militer. Ketika Presiden KH Abdurrahman Wahid berkuasa, ia sempat diberi tugas untuk melobi keluarga mantan Presiden Soeharto. Maksud langkah persuasif yang dilakukannya itu agar Keluarga Cendana bersedia memberikan sebagian hartanya kepada rakyat dan bangsa. Khususnya untuk membawa pulang harta keluarga Soeharto yang diperkirakan masih tersimpan di luar negeri. Padahal saat itu masyarakat tengah menunggu dengan seksama hasil peradilan orang kuat Orde Baru tersebut.

Presiden Wahid pada awal tahun 2001 pernah memintanya untuk membentuk Crisis Centre. Dalam lembaga nonstruktural ini Presiden Wahid meminta Yudhoyono menjabat sebagai Ketua Harian dan menempatkan pusat informasi atau kegiatan (operation centre) di kantor Menko Polsoskam. Lembaga baru ini berfungsi untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden Wahid dalam menjawab berbagai persoalan. Termasuk di antaranya sikap Kepala Negara dalam merespon pemberian dua memorandum oleh DPR.

Walau berulang kali menerima kepercayaan bukan berarti Yudhoyono ‘lembek’ dalam menghadapi Presiden Wahid. Ketika terdengar kabar Presiden Wahid ngotot akan menerbitkan dekrit pembubaran DPR, maka, bersama Panglima TNI Laksamana Widodo A.S. dan jajaran petinggi TNI lainnya menantu mendiang Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo ini meminta Gus Presiden mengurungkan niatnya.

Siapa nyana, setelah batal menerbitkan dekrit, Presiden Wahid malah mengeluarkan maklumat. Di sini pun Yudhoyono lagi-lagi mendapat ujian karena Kepala Negara menunjuknya sebagai pejabat yang bertanggung jawab untuk menegakkan keamanan dan ketertiban di Indonesia dalam menghadapi Sidang Paripurna yang dikhawatirkan banyak pihak bakal menimbulkan konflik di masyarakat. Tak lama setelah itu, Gus Dur malah melengserkan jabatan SBY. Dalam Sidang Istimewa MPR, giliran Gus Dur yang diturunkan dari kursi presiden dan digantikan Megawati.

Susilo Bambang Yudhoyono (3)
Kadet Lembah Tidar ke Istana


Dia anak tunggal prajurit profesional sekaligus pemimpin yang disegani. Tanda garis hidup cemerlangnya mulai terdata semenjak kelas lima Sekolah Rakyat. Dia ingin menuju Lembah Tidar. Dari Lembah Tidar dia lalu membangun kapasitas dan integritas sebagai calon pemimpin nasional. Dia tak sampai mengecap jabatan tertinggi Angkatan Darat dan TNI “mengalah” mau masuk Kabinet Gus Dur. Dia pensiun dini lima tahun lebih cepat saat berbintang tiga.

Dia terus mengasah diri menjadi pemimpin masa depan. Menangani koordinasi bidang politik, sosial, dan keamanan di Kabinet Gus Dur, demikian pula pada Kabinet Megawati stabilitas politik dan keamanan dalam negeri tertata rapi. Berbagai catatan emas keberhasilan membuatnya mantap melangkah mencari jalan sebagai pemimpin nasional tertinggi. Partai Demokrat mengusungnya bersama Jusuf Kalla sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden 2004-2009. Pasangan ini terbukti terkuat diantara empat kandidat lain. Rakyat telah memilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Muhammad Jusuf Kalla (JK) sebagai pemimpin.

SBY lahir tanggal 9 September 1949 di lingkungan sebuah Pondok Pesantren Tremas, yang jaraknya 15 kilometer dari Kota Pacitan, Jawa Timur. Ibunya Siti Habibah putri salah seorang pendiri Pondok Pesantren Tremas, dan ayahnya, R Soekotjo seorang bintara Angkatan Darat yang bertugas di Koramil di kecamatan berbeda.

Bersukacita melihat kelahiran anak, Soekotjo spontan menarik pistol dari pinggang lantas meletakkannya di atas dahi sang bayi putra semata wayang yang kemudian diberi nama Susilo Bambang Yudhoyono. Susilo berarti orang yang santun dan penuh kesusilaan. Bambang adalah ksatria. Yudho bermakna perang. Dan Yono sama dengan kemenangan. Jadilah nama lengkap Susilo Bambang Yudhoyono, disingkat SBY, diartikan seorang yang santun, penuh kesusilaan, kesatria, dan berhasil memenangkan setiap peperangan.

SBY tumbuh dan berkembang sebagai anak desa yang cerdas dan pandai bergaul. Sebagai anak semata wayang SBY memperoleh kasih sayang besar dari kedua orangtua. Didikan ayah menitikberatkan kerja keras dan disiplin. Sedangkan ibu menekankan masalah iman dan ketaqwaan.

SBY sekolah di Sekolah Rakyat Desa Purwoasri, Kecamatan Kebonagung. Dia aktif di kepanduan dan suka membaca. Mulai dari komik hingga buku tentang wayang. Dari buku wayang dia mengetahui bagaimana kultur Jawa melakukan penghormatan, hierarki, dan sopan santun. Di kemudian hari bacaan itu banyak mempengaruhi tingkah laku dan pembawaannya yang santun, tenang, pendiam, tidak emosional, dan bersahaja.

SBY tumbuh menjadi seorang murid yang cerdas mampu menyerap dengan cepat semua mata pelajaran yang diberikan guru. Rekan sekelas banyak bertanya kepadanya khususnya pelajaran berhitung, ilmu bumi, dan sejarah. Sifatnya suka mengalah. Tidak sombong tidak pendendam. Dia tak suka pada segala bentuk kekerasan atau hal-hal yang bersifat keras. Ia enggan ikut main sepakbola dan kasti.

SBY mulai menunjukkan sifat seorang pemimpin dan pemaaf. Ia selalu mendapat tugas sebagai komandan. Seperti komandan peleton SR Gadjahmada yang meraih juara pertama kelompok putra lomba gerak jalan antar-SR tingkat Kabupaten Pacitan. Pada Juli 1962 SBY lulus dari sekolah SR dengan nilai terbaik.

Pendidikan SR adalah pijakan masa depan paling menentukan dalam diri SBY. Ketika duduk di bangku kelas lima SBY untuk pertamakali kenal dan akrab dengan nama Akademi Militer Nasional (AMN), Magelang, Jawa Tengah. Di kemudian hari AMN berubah nama menjadi Akabri.

Ketika itu ayahnya yang bintara angkatan darat (akhirnya pensiun sebagai letnan), bersama keluarga mengajak SBY berjalan-jalan wisata mengisi hari libur sekolah ke Lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah, tempat AMN berdiri. SBY bergumam dalam hati, suatu ketika kelak akan menjadi seperti para taruna gagah tampan mempesona.

SBY masuk SMP Negeri Pacitan, terletak di selatan alun-alun. Ini adalah sekolah idola bagi anak-anak Kota 1.001 goa itu. Di bangku SMP jiwa sosial SBY serta kemampuan menggalang rekan-rekan kian terasah. Dia terlibat dalam pelbagai kegiatan intra dan ekstra sekolah. Seperti masak-memasak, kelompok belajar, musik, hingga olahraga khususnya bolavoli dan tenis meja.

SBY juga aktif di Pijar Sena sebuah kompi pelajar serbaguna. Kompi ini pernah mendapat tugas di Desa Pager Lot mendata penduduk dalam rangka mencari pelarian anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia juga aktif di bidang seni budaya seperti melukis hingga belajar teater dalam sanggar seni Dahlia Pacitan pimpinan Gondrong Suparman. Dia juga melahirkan ide membuat majalah dinding. Di situ SBY menjadi editor, menulis artikel seputar sekolah, puisi, hingga menulis cerpen.

Kegiatan-kegiatan itu masih berlanjut saat SBY memasuki bangku SMA 271, sebutan untuk SMA Negeri Pacitan. SBY tak hanya menonjol dalam setiap pelajaran. Dia tetap rendah hati dan mau berbagi pengetahuan kepada teman. Ia kerap kali tampil ke depan mengajar matematika ketika guru yang bersangkutan berhalangan. Bakat seni SBY juga semakin mengkilap. Dia piawai bermain musik. SBY adalah pemain bass gitar band sekolah. Ia juga meneruskan hobi bermain bolavoli. Benih-benih sebagai pemimpin berbakat mulai bersemi dalam jiwa SBY. Dia akhirnya dinyatakan lulus dari bangku SMA tahun 1968.

SBY ingin segera mewujudkan keinginan menyandang pedang dan senjata. Sayang harus tertunda setahun karena kesalahan informasi pendaftaran dia terlambat mendaftarkan diri. Masa penantian dia isi mengikuti pendidikan di Fakultas Teknik Mesin Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS), walau hanya sampai tahapan orientasi kampus.

SBY punya pilihan lain, dia masuk ke Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PG-SLP) di Malang, Jawa Timur. Di Malang SBY mempersiapkan fisik, mental, dan intelektual agar tahun depannya lulus ujian penyaringan Akabri tingkat daerah di Jawa Timur, dan tingkat pusat di Bandung.

Menjelang akhir tahun 1969 SBY mendaftar di Malang. Lulus, lalu pergi tes lanjutan ke Bandung, juga lulus. SBY dikirim ke Magelang mengikuti pendidikan mulai awal tahun 1970.

SBY langsung menerima pembagian peralatan militer. Seperti seragam baju lapangan hijau, sepatu lars, topi baja, koppel rim, dan lain-lainnya langsung pada hari pertama menghuni Lembah Tidar. Rambut digundul plontos habis. Perpeloncoan adalah tradisi dalam miiter untuk mengubah pola pikir dan pola tindak dari seorang sipil menjadi militer.

Selama seminggu SBY hidup bersama 1.121 calon taruna, diantaranya 501 dari Akabri Darat, 116 Laut, 126 Udara, dan 378 Kepolisian. Tiga bulan pertama dia menjalani pendidikan basis militer tanpa hambatan berarti. SBY dilantik menjadi taruna Akabri dengan pangkat prajurit taruna (pratar) dan kopral taruna.

Magelang adalah turning point kehidupan pribadi SBY. Dia aktif mengikuti berbagai kegiatan. Salah satunya, sejak tingkat satu anggota drumband Akabri Darat Cantalokananta. SBY dikenal teman-temannya sebagai kutu buku. Hari libur dia tetap sibuk membaca dan belajar. Tidak seperti teman-teman lainnya senang berpesiar. Sejumlah buku militer dan biografi para tokoh militer asing dilahapnya. Sejak bangku SMP SBY sudah fasih berbahasa Inggris. Karenanya, teman-teman taruna juga mengenal SBY sangat pandai berbahasa Inggris.

SBY di tahun kedua berpangkat sersan taruna. Dia memilih kecabangan korps infantri. Dia mmeperoleh “wildcard” bebas memilih kecabangan sebab berprestasi baik masuk 10 besar.

SBY terpilih menjadi Komandan Divisi Korps Taruna (Dandivkortar) membawahi 3.000 taruna akademi militer. Dia pegang komando itu satu setengah tahun. SBY kemudian menyerahkannya ke adik kelas Sjafrie Samsoedin.

Selama taruna prestasi SBY tergolong menonjol. Menerima berbagai penghargaan bidang kepribadian, intelektual, hingga fisik. Selama empat tahun sebagai taruna SBY memperoleh tujuh bintang penghargaan. Pencapaian ini tak pernah diraih taruna manapun.

Pada 11 Desember 1973 SBY mengakhiri masa pendidikan akademi militer sebagai lulusan terbaik diantara 987 taruna lulusan seangkatan. SBY berhak menyandang pangkat letnan dua infantri dengan NRP 26418. SBY lulus dengan meraih penghargaan Bintang Adhi Makayasa. Artinya, sebagai yang terbaik atau setara dengan summa cum laude dari antara teman seangkatan di segala hal. Mulai hal kepribadian, fisik, mental, dan akademis. Bintang Adhi Makayasa diserahkan langsung oleh Presiden Soeharto kepada SBY.

Sesudah berpangkat Letnan Satu SBY tahun 1976 terpilih mengikuti pendidikan Ranger School dan Airborne School di Fort Benning, Amerika Serikat. Lokasi ini adalah sebuah pusat pendidikan militer ternama Angkatan Darat Amerika Serikat. Pilihan itu mengisyaratkan bahwa SBY adalah seorang perwira yang mempunyai masa depan, a promising officer.

Ketika sedang bertugas di Mabes TNI-AD berpangkat kapten infantri SBY kembali mendapat kesempatan sekolah ke Amerika Serikat, tahun 1982-1983. Dia mengikuti kursus infantery officer advanced course. SBY sekaligus mengikuti praktek kerja, on the job training, di Divisi 82 Lintas Udara Angkatan Darat AS, tahun 1983.

Bersamaan itu SBY juga mengikuti pendidikan lintas udara di Airborne School memperdalam metode pendidikan dan pelatihan, taktik dan doktrin kelintasudaraan, yang kelak di Indonesia dipadukan dengan doktrin Linud TNI yang relatif baru berkembang. Ia juga berkesempatan mengikuti latihan penerjunan jungle warfare di Panama, tahu 1983.

Usai dari Panama SBY dipanggil oleh Komandan Pusat Infantri (Pusif) Brigjen Feisal Tanjung. Berdua mereka membicarakan persiapan kedatangan persenjataan anti-tank buatan Belgia-Jerman. Saat itu SBY sudah menjabat sebagai instruktur militer di Pusif.

SBY dalam pangkat mayor ditugaskan berangkat ke Belgia bersama Kapten Darmono untuk mendalami seluk-beluk dan penggunaan senjata anti-tank di medan yang diselimuti salju. Kursus berlangsung 20 hari, 14 hari diantaranya adalah mengikuti pelatihan pertempuran anti-tank di sebuah satuan yang terkenal memiliki reputasi sangat tinggi dan amat membanggakan. Di situ SBY bisa meningkatkan profesionalitasnya sebagai perwira pasukan tempur. SBY masih berkesempatan dikirim ke Malaysia melengkapi pengetahuan jungle warfare di Jungle Warfare School, tahun 1984.

Ketika kembali dari Denpasar sebagai Pabanmuda Operasi Kodam Udayana 1988 berpangkat mayor, SBY mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Darat (Seskoad), Bandung, dan lulus sebagai yang terbaik tahun 1989. SBY berkesempatan menyampaikan pokok-pokok pikirannya dalam sebuah orasi ilmiah berjudul

“Profesionalisme ABRI, Masa Kini dan Masa Depan”, langsung di hadapan para petinggi TNI-AD pas di hari ulang tahun Seskoad.

Bersama Agus Wirahadikusumah SBY mendirikan Center of Excellence lalu menerbitkan buku “Tantangan Pembangunan”. SBY berkesempatan pula diangkat menjadi dosen di almamater Seskoad sambil mulai bersentuhan dan memperdalam pengetahuan mengenai demokrasi.

SBY berpangkat letnan kolonel dikirim mengikuti US Army Command & General Staff College (CGSC) di Fort Leavenworth, AS, tahun 1990 selama 48 minggu. Pada kesempatan itu dia meraih pula jenjang S-2 master degree gelar MA dalam ilmu manajemen di Universitas Webster. Di CGSG SBY lulusan terbaik kedua setelah seorang perwira asal Australia.

Saat menjabat Komandan Korem 073/Pamungkas berkedudukan di Yogyakarta berpangkat kolonel, SBY kembali disuruh menginjakkan kaki ke daratan Eropa. SBY memimpin misi Pasukan Penjaga Perdamaian PBB (Chief Military Obsever) di Bosnia, sepanjang tahun 1995-1996, membawahi langsung 650 perwira berpangkat kapten hingga kolonel asal 29 negara. Sebelum berangkat ke pundak SBY disematkan tanda pangkat jenderal bintang satu.

Saat bertugas di Bosnia-Herzegovina SBY berkesempatan menjalin hubungan pribadi yang cukup baik dengan Kofi Annan, seorang warga negara Nigeria diplomat karir PBB berkedudukan sebagai special envoy Sekjen PBB Butros Butros Gali. Annan sekaligus menjabat Head of Mission untuk masalah Bosnia. Beberapa tahun kemudian Kofi Annan terpilih menjadi Sekjen PBB menjadikan persahabatan pribadi yang akrab antara SBY dengan Annan menjadi sangat bermakna bagi kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Pada Oktober 1999 sebagai Kaster TNI jenderal berbintang tiga SBY diminta presiden terpilih Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben). SBY galau. Sebelum pidato pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie ditolak oleh anggota MPR, Menhankam/Panglima TNI Jenderal Wiranto pernah memanggil SBY bersama Wakil Panglima TNI Laksamana Widodo di kediaman Wiranto, Bambu Apus, Jakarta Timur.

Saat itu Wiranto merekomendasikan Laksamana Widodo menggantikan dirinya sebagai Panglima TNI, dan SBY diproyeksikan sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) menggantikan Jenderal Subagyo HS. Sebagai prajurit profesional SBY bangga jika dipercaya menduduki jabatan tertinggi di angkatan darat. SBY ingin bisa menyelesaikan tugas secara paripurna sebagai prajurit profesional di lingkungan TNI. SBY yakin dapat berbuat banyak bagi kemajuan Angkatan Darat dalam kapasitas KSAD.

Jika Presiden Gus Dur memintanya menjadi Mentamben berarti harus pensiun lima tahun lebih cepat dari kemiliteran. SBY lalu menemui Wiranto, pimpinannya, agar bisa mengusahakan Presiden Gus Dur mengurungkan niatnya. SBY masih ingin tetap berdinas di TNI dan tak usah menjadi menteri.

SBY menemui Wiranto sebab teringat, saat Presiden Soeharto hendak membentuk Kabinet Pembangunan VII Maret 1998 Pak Harto menominasikan nama SBY sebagai Menteri Penerangan. Demikian pula tatkala Habibie naik menggantikan Pak Harto nama SBY sempat mencuat sebagai Menteri Dalam Negeri. Ketika itu SBY menghadap Wiranto meminta Panglima TNI itu menyampaikan keinginannya kepada Presiden Habibie agar diberi kesempatan tetap mengabdi di militer, dan ternyata bisa terkabul.

Kali ini dengan Gus Dur agaknya berbeda. SBY tetap galau. Dia lalu menelepon R. Soekotjo, ayahnya, meminta nasihat. Ayahnya menyarankan menerima jabatan sebab mengabdi bukan hanya di militer tetapi bisa pula di sektor lain. SBY lalu tenang menerima tugas baru sebagai Mentamben. Pensiun dini dari dinas militer dengan pangkat terakhir letnan jenderal. Walau, sesungguhnya SBY sebagai prajurit profesional diperkirakan akan bisa meraih jenderal penuh bintang empat sebab sangat berpeluang menjabat KSAD hingga Panglima TNI. Dan, itu sesungguhnya sesuai dengan skenario yang ada di tangan petinggi TNI.

SBY tak perlu lama memangku Mentamben. Dia dipromosikan menjadi Menko Polsoskam menggantikan pejabat lama Wiranto yang mengundurkan diri sebab berseteru dengan Gus Dur. SBY menjadi Menko Polsoskam saat Presiden sedang “dihujani” oleh DPR peringatan Memorandum I dan Memorandum II terkait kasus Buloggate dan Bruneigate. Peringatan itu hendak dibalas oleh Gus Dur dengan dekrit berisi pembubaran DPR dan segera melaksakan pemilihan umum.

Sebagai prajurit sejati SBY tak setuju dan menolak pemberlakuan dekrit. Sebab tak ada alasan konstitusional yang kuat memberlakukannya, sebagaimana dahulu pernah dilakukan Bung Karno tahun 1957. Presiden Gus Dur akhirnya pada 28 Mei 2001 mengeluarkan Maklumat Presiden. Pemegang mandat maklumat adalah Menko Polsoskam SBY.

Isi maklumat, perintah mengambil tindakan-tindakan dan langkah khusus yang diperlukan untuk menegakkan ketertiban, keamanan, dan hukum secepat-cepatnya. Maklumat sempat diisukan adalah ulangan Supersemar Jilid II. SBY diperkirakan akan segera melaksanakan langkah-langkah represif memburu dan menggebuk semua lawan politik Gus Dur. Maklumat ditengarai adalah pintu masuk TNI ke panggung politik nasional.

SBY menepis semua tuduhan. Usai menerima maklumat SBY segera menemui Wakil Presiden Megawati ke Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Dia menjelaskan posisinya sebagai pemegang maklumat. Di tangan SBY maklumat dibuat bukan sebagai alat kekuasaan melainkan menjadi alat demokrasi agar proses politik berjalan secara konstitusional, damai, dan tanpa kekerasan.

Pada sisi lain, tanggal 30 Mei 2001 DPR sedang melakukan sidang pleno evaluasi pelaksanaan Memorandum II. Kesimpulan DPR memutuskan, mendesak MPR segera menyelenggarakan Sidang Istimewa. Gus Dur pada 1 Juni 2001 meminta SBY mengundurkan diri dari jabatan Menko Polsoskam sekaligus menawarkan jabatan baru Menteri Perhubungan atau Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. SBY menolak tawaran dengan santun. Dia berhenti sebagai menteri dan menyerahkan tugas kepada Agum Gumelar.

Gus Dur akhirnya lengser digantikan wakilnya Megawati Soekarnoputri. Mega kemudian meminta SBY untuk ikut membantu sebagai Menko Polkam. Tugas baru tapi lama sebagai Menko Polkam kembali membuat SBY sibuk dengan urusan pengamanan.

SBY menjalankan prinsip jalan damai (peacefull solution) dalam mengatasi masalah Aceh, yang didasarkan tiga prinsip dasar: damai berdasarkan NKRI, damai berdasarkan otonomi khusus yang tertuang dalam UU No. 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus, dan damai dengan berhentinya separatisme.

Karena Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tetap menuntut pemisahan diri, Pemerintah dan DPR sepakat melakukan operasi terpadu. Mulai operasi kemanusiaan, operasi pemantapan pemerintahan, operasi penegakan hukum, dan operasi pemulihan keamanan. Operasi terpadu telah menciptakan ketenangan baru di Aceh. Situasi darurat militer diturunkan gradasinya menjadi darurat sipil.

Timor Timur masih menyisakan persoalan. Kawasan Atambua salah satu kamp pengungsi prointegrasi dilanda kerusuhan. SBY segera mendatangi pengungsian dan bersimpati terhadap pengungsi. Dia meminta dukungan dari para tokoh prointegrasi.

SBY juga tetap menaruh perhatian terhadap Maluku. Pemerintah bertekad menegakkan supremasi hukum secara damai menuju rekonsiliasi. SBY mengedepankan dialog mencari solusi terbaik. Sejak pertemuan Malino II aktivitas ekonomi masyarakat Maluku mulai berjalan normal. Sejak 17 Mei 2003 Presiden Megawati mencabut status darurat sipil di Maluku.

Poso di Sulawesi Tengah berkonflik membuat kota ini mati. Roda pemerintahan terganggu masyarakat hidup dalam suasana nyanyian kematian. Sebuah pekerjaan berat buat SBY. SBY bersama Menko Kesra Jusuf Kalla bahu-membahu kerja siang malam mencari jalan keluar yang dapat diterima semua pihak. Kesepakatan Malino untuk Poso ditandatangani. Isinya laksanakan rehabilitasi fisik dan mental, rekonstruksi, dan relokasi oleh pemerintah.

Menghadapi isu terorisme SBY menggariskan penanganan berdasarkan prinsip supremasi hukum, independensi, indiskriminasi, koordinasi, demokrasi, dan partisipasi. Prinsip ini telah efektif mencegah aksi teror yang sempat merajalela pasca kejatuhan Pak Harto.

Pengelolaan politik dan keamanan di bawah koordinasi SBY dalam Kabinet Persastuan Nasional pimpinan Gus Dur, dan Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati, sangat signifikan menciptakan stabilitas politik dan keamanan. Kerusuhan sosial yang terjadi luar biasa selama tiga tahun sebelumnya, belakangan secara berangsur memasuki kondisi normal. Sebuah ukuran, keberhasilan penanganan masalah politik dan keamanan di tangan SBY.

SBY-Kristiani Herawati (4)
Keluarga Harmonis dan Religius


Duduk di tingkat empat sebagai Komandan Divisi Korps Prajurit Taruna (Dankorpratar) Akabri, Magelang, Jawa Tengah, taruna Susilo Bambang Yudhoyono suatu waktu harus menghadap melapor ke Gubernur Akabri, Mayor Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo. Saat itu untuk pertama kali di rumah dinas sedang berkunjung putri ketiga yang paling disayangi Sarwo Edhie, Kristiani Herrawati, atau Ani.

Ani memilih menetap tinggal di Jakarta tak ikutan penunjukan sang ayah hijrah sebagai Gubernur Akabri ke Magelang. Pandangan mata antara Susilo dan Ani tak terhindarkan. Jantung Susilo berdetak kencang pipi Ani tersipu malu. Keduanya menyempatkan diri berkenalan.

“Dia dewasa sekali,” kenang Ani tentang pria muda berpostur tinggi besar tampak gagah berpakaian dinas taruna memikat hatinya. Ani adalah wanita muda berparas cantik. Susilo ingin mengenal Ani lebih dekat. “Itu, saya kira jalan Tuhan,” sebut Susilo mengenang pertemuan pertama mereka.

Hubungan kedua sejoli kian dekat. Ani tetap tinggal di Jakarta, tahun 1973 dia sudah tingkat tiga kuliah di Universitas Kristen Indonesia (UKI). Dengan Susilo yang masih taruna di Magelang dia merajut tali kasih melalui surat-menyurat.

Ani kemudian berencana tinggal menetap sementara di Seoul kali ini mengikuti jejak sang ayah Sarwo Edhie Wibowo yang pasca Gubernur Akabri ditugaskan menjadi Duta Besar dan Berkuasa Penuh RI di Korea Selatan, berkededukan di Seoul.

Sebelum berangkat, pada Februari 1974 Susilo dan Ani menyempatkan diri bertunangan. Dan satu setengah tahun kemudian Ani sudah kembali berada ke tanah air. Sayang, Susilo justru sedang tugas belajar pendidikan Airborne dan Ranger di Amerika Serikat. Baru setelah Susilo kembali dari Negeri Paman Sam, pada 30 Juli 1976 keduanya sepakat menikah membina rumahtangga baru.

Hanya sempat berbulan madu beberapa hari Susilo sudah harus menyusul anggota pasukannya ke Timor Timur menjalankan tugas. Ani sudah siap untuk hal itu. Sepuluh tahun kemudian kejadian sama berulang. Susilo ke daerah Timor Timur, yang pada tahun 1986-1988 masih belum sepenuhnya aman. “No news is a good news,” atau jika tidak ada berita itu berarti adalah berita bagus, pesan Susilo, menenangkan hati istri untuk tidak perlu mengkhawatirkan keselamatannya.

Ketika pada bulan Desember 1977 Herrawati diidentifikasi hamil kegembiraan Susilo luar biasa senang. Susilo adalah anak tunggal semata wayang. Ada rasa takut padanya jika istrinya susah hamil. Rumahtangga harmonis itu akhirnya dikaruniai dua orang putra. Agus Harimurti Yudhoyono, kini seorang letnan satu infantri, dan si bungsu Edhie Baskoro Yudhoyono yang sedang menyelesaikan pendidikan sekolah bisnis S-2 di Australia.

Selalu musyawarah

Sebelum memutuskan sesuatu keluarga Susilo selalu mengedepankan musyawarah. Susilo tak pernah mengambil keputusan, apalagi jika tentang rumah tangga, sebelum berbicara dengan istrinya. Kehidupan keluarga ini berjalan harmonis.

Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY punya pelajaran politik sangat berharga. Pada 25 Juli 2001 dia kalah dalam pemilihan wakil presiden hanya karena tak punya kendaraan politik berupa partai. Sebagai demokrat sejati dia lalu menyadari tak mungkin mengandalkan anugerah atau priviledge diberikan oleh kekuasaan.

Terjun ke politik harus menjunjung norma dan etika demokrasi. Untuk meraih kekuasaan dituntut berjuang melalui partai politik. Siapapun jika ingin mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden harus memiliki basis partai politik tersendiri.

SBY lantas membidani kelahiran Partai Demokrat sebagai jalan yang sah, adil, dan fair berkompetisi dalam proses penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Orang baru bisa dikatakan berkeringat jika sudah berjuang melalui partai politik sebagai pemimpin, pengurus, atau anggota partai.

Pengunduran diri SBY sebagai Menko Polsoskam dari Kabinet Persatuan Nasional pimpinan Gus Dur, pada 1 Juni 2001, memberinya banyak waktu membentuk partai, mempersiapkan rumusan anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai, garis perjuangan, bendera, lambang, mars, dan beragam piranti lunak lainnya.

Sedang berada di puncak kesibukan itu SBY menerima telepon dari Megawati Soekarnoputri, yang sudah naik menjadi Presiden menggantikan Gus Dur sejak 23 Juli 2001. “Saya meminta Mas untuk membantu saya lagi, dengan jabatan seperti dulu, sebagai Menko Polkam,” suara merdu Megawati di telepon.

“Bu, kalau ini memang kepercayaan, kemudian untuk tujuan yang baik, untuk pemerintahan kita, saya siap mengemban tugas itu,” jawab SBY singkat menerima.

Pengelolaan partai berlambang segitiga merah putih kemudian dia serahkan kepada Prof. Subur Budhisantoso, mantan rektor Universitas Indonesia (UI), dan Prof. Dr. Irzan Tandjung, gurubesar Fakultas Ekonomi UI (FE-UI) sebagai ketua umum dan sekretaris jenderal, dan kawan-kawan lainnya. Partai yang diberi nama Partai Demokrat didaftarkan ke Departemen Kehakiman & HAM pada 9 September 2001, tepat pada usia SBY ke-52.

Partai Demokrat dideklarasikan oleh 99 tokoh pendiri pada 17 Oktober 2002 di Jakarta, dihadiri pengurus 29 DPD Propinsi. Esoknya, 18 Oktober 2002 berlangsung Rapat Kerja Nasional I di Jakarta. Platform partai ditetapkan nasionalis religius, humanisme, dan pluralisme.

Tujuan jangka pendek partai ikut Pemilu 2004, jangka panjang partai memiliki garis ideologi yang nyaman tanpa menyisakan pengkotak-kotakan istilah partai agama, nasionalis, apalagi sekuler. SBY sangat ingin muncul partai yang mampu menyatukan kaum nasionalis dengan kaum agama, yang mayoritas Islam, dalam satu wadah.

Ideologi Partai Demokrat dirumuskannya nasionalis religius. Kaum beragama tetap mencintai bangsanya dan kaum nasionalis taat dalam beragama. “Dalam 10 hingga 15 tahun mendatang, Partai Demokrat harus menjadi partai kader yang terus disempurnakan,” kata SBY.

Partai Demokrat bukan hanya bisa ikut Pemilu Legislatif 5 April 2004. Fantastis, Partai Demokrat mampu lolos electoral threshold, masuk lima besar meraih suara di atas tujuh persen, berhak mengajukan Calon Presiden yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Calon Wakil Presiden M Jusuf Kalla atau SBY-JK, bahkan mampu meraih 57 kursi parlemen.

Partai Demokrat adalah kekuatan alternatif baru yang memiliki konsep bagus mengelola negara melalui figur SBY-JK. Jika Partai Demokrat dijuluki “Bintang Pemilu 5 April 2004”, demikian pula SBY-JK “Bintang Bersinar Pemilu Presiden 5 Juli 2004”, pasti halnya demikian pula pada 20 September 2004. Keluarga harmonis SBY-Ani akan menjadi sebuah Keluarga Presiden yang harmonis.

Susilo Bambang Yudhoyono (5)
Pilihan Suara Hati Rakyat II

Pilihan suara hati nurani rakyat akhirnya terbukti. Mayoritas rakyat Indonesia, pada Pilpres putaran kedua, mempercayakan pilihannya kepada pasangan capres-cawapres Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla. Paduan dwitunggal ini menawarkan program memberikan rasa aman, adil, dan sejahtera kepada rakyat. Pasangan ini hampir dipastikan akan memenangkan Pilpres 20 September 2004. Inilah Presiden dan Wakil Presiden pertama pilihan rakyat secara langsung.

Rekonsiliasi

Setelah delapan bulan saling berkompetisi di mana ada persaingan secara politik dalam Pemilu, dia berharap mengakhirinya dalam proses rekonsiliasi. Rekonsiliasi, menurutnya, harus dimulai dari pada elite yang diikuti para konstituen.

Dia pun berupaya merintis rekonsiliasi itu. Menurutnya, kalaupun ada konsep the ruling party dan oposisi di legislatif dan eksekutif, hal itu sah-sah saja dan akan menyehatkan karena ada checks dan balances. Tapi tak boleh dilatarbelakangi dengan permusuhan. Dasarnya adalah koreksi dan mengawasi agar kebijakan publik tidak salah dan rakyat akan diuntungkan.

Dia ingin ada komunikasi dengan Ibu Megawati sehingga tak ada masalah tersisa setelah tanggal 20 Oktober, dengan demikian pemerintahan akan berjalan. "Ini memang tak pernah terjadi di Indonesia, dan saatnya kita memulai," kata SBY.

Siapakah sesungguhnya Susilo Bambang Yudhoyono yang sangat diidolakan rakyat dan mengapa pasangan itu berjodoh?

SBY, demikian ia akrab disapa. Gaya bicaranya tenang, sistematis, dan berwibawa. Kata-katanya jelas mencerminkan wawasan berpikirnya yang luas. Pantas saja para pengamat politik memberinya julukan: Jenderal yang Berpikir. Ia pun mendirikan Partai Demokrat yang kemudian memperoleh suara signifikan pada Pemilu 2004 dan menghantarkannya menjadi calon presiden.

Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Kabinet Gotong-Royong ini mengundurkan diri dari jabatannya karena merasa tidak dipercaya lagi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Surat permintaan pengunduran dirinya dikirim kepada Presiden, Kamis 11 Maret 2004 pagi, setelah sebelumnya ia menyurati presiden, mempersoalkan kewenangannya yang "dipreteli", tapi tidak ditanggapi oleh Megawati.

Pengunduran diri pria kelahiran Pacitan 9 September 1949 itu dilakukan setelah dua minggu kemelut politik terbuka dengan Megawati. Keputusan mundur dari kabinet itu tampaknya merupakan pemanasan dari kemelut panjang dalam kancah perebutan kekuasaan.

Yudhoyono, yang makin populer lewat iklan pemilu damainya di televisi, tampaknya telah memicu kemelut yang mengakibatkan orang-orang Megawati gerah.

Ketika mengumumkan permintaan pengunduran dirinya, SBY mengatakan, "Sesuai dengan hak politik saya, jika nanti pada saatnya ada partai politik, katakanlah Partai Demokrat dan dengan gabungan partai lain yang mengusulkan saya sebagai calon presiden, insya Allah saya bersedia." Berarti, ia siap bersaing dengan Megawati untuk merebut kursi kepresidenan di Pemilu 2004 ini.

Keputusan pengunduran dirinya dinilai berbagai pihak suatu keputusan yang elegan. Dalam perjalanan kariernya, Yudhoyono, memang selalu ingin tampak elegan baik dalam bertutur maupun bertindak. Sikap itu terlihat dalam beberapa peristiwa penting yang melibatkan langsung menantu Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo itu.

Proses pengunduran dirinya yang terkesan akibat tersisihkan dalam Kabinet Megawati telah mengangkat popularitasnya yang tercermin dalam perolehan suara Partai Demokrat pada Pemilu 2004 yang sangat signifikan, menduduki peringkat lima.

Ketika mantan Kepala Staf Teritorial Markas Besar Tentara Nasional Indonesia ini tanggal 27 Januari 2000 memutuskan untuk pensiun lebih dini ketika menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Ketika itu ia masih berpangkat letnan jenderal dan akhirnya pensiun dengan pangkat jenderal kehormatan.

Kemudian pada 28 Mei 2001, bersama beberapa menteri tidak merekomendasikan rencana Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Dekrit Presiden. Bahkan tidak bersedia melaksanakan Maklumat Presiden yang menugaskannya sebagai Menkopolsoskam untuk mengambil langkah-langkah yang perlu untuk mengatasi krisis, memelihara keamanan, ketertiban, dan hukum.

Akibatnya ia diberhentikan dengan hormat dari jabatan Menkopolsoskam pada 1 Juni 2001, kerena menolak rencana Presiden mengeluarkan Dekrit. Ketika ia ditawari jabatan Menteri Perhubungan atau Menteri Dalam Negeri, ia menolaknya.

Lalu pada Sidang Istimewa MPR-RI, 25 Juli 2001, ia dicalonkan memperebutkan jabatan Wakil Presiden yang lowong setelah Megawati Sukarnoputeri dipilih menjadi presiden. Ia bersaing dengan Hamzah Haz dan Akbar Tandjung. Ia kalah dengan alasan sederhana, tidak mempunyai kendaraan politik berupa partai.

Pada 10 Agustus 2001, Presiden Megawati mempercayai dan melantiknya menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong-Royong. Dia pun menjalankan tugasnya dengan baik. Salah satu pelaksanaan tugasnya adalah mengumumkan pemberlakuan status darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada 19 Mei 2003.

Kemudian popularitasnya makin memuncak. Pertama kali dia masuk bursa calon presiden, ketika Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) menimangnya menjadi salah satu kandidat calon presiden dan wakil presiden. Kemudian, Partai Demokrat menyebutnya sebagai calon presiden, bukan calon wakil presiden.

Susilo Bambang Yudhoyono (06)
Andalkan Popularitas Politik


SBY, demikian ia akrab disapa. Gaya dan tutur bicaranya tenang, sistematis dan berwibawa. Sehingga ia populer bagi kaum ibu dan remaja putri. Ia seorang yang beruntung memiliki popularitas politik. Pantas saja para pengamat politik memberinya julukan: Jenderal yang Berpikir dan Tampan. Ia pun mendirikan Partai Demokrat yang kemudian memperoleh suara signifikan pada Pemilu 2004 dan mengantarkannya menjadi calon presiden.

Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Kabinet Gotong-Royong ini mengundurkan diri dari jabatannya setelah mempersiapkan diri untuk mencalonkan diri merebut kursi presiden bersaing dengan Megawati.

Surat permintaan pengunduran dirinya dikirim kepada Presiden Megawati, Kamis 11 Maret 2004 pagi, setelah sebelumnya ia menyurati presiden, mempersoalkan kewenangannya yang "dipreteli", tapi tidak ditanggapi oleh Megawati.

Pengunduran diri pria kelahiran Pacitan 9 September 1949 itu dilakukan setelah dua minggu kemelut politik terbuka dengan Megawati. Keputusan mundur dari kabinet itu tampaknya merupakan pemanasan dari kemelut panjang dalam kancah perebutan kekuasaan. Dia pun beruntung dan berhasil meraih dan mengandalkan popularitas politik.

Yudhoyono, yang secara cerdik makin populer lewat iklan pemilu damainya di televisi, tampaknya telah memicu kemelut yang mengakibatkan orang-orang Megawati gerah dan merasa dikhianati. SBY yang ketika diangkat menjadi Menkopolkam sebagai pembantu presiden oleh Presiden Megawati adalah dengan pertimbangan profesional. Namun 'jenderal simpatik' ini berhasil memanfaatkannya secara politis untuk menjadi pesaing Megawati, presiden yang mempercayainya.

Jenderal yang kelihatan simpatik, tampan, mudah senyum dan memikat banyak perempuan ini, ketika mengumumkan permintaan pengunduran dirinya, mengatakan "Sesuai dengan hak politik saya, jika nanti pada saatnya ada partai politik, katakanlah Partai Demokrat dan dengan gabungan partai lain yang mengusulkan saya sebagai calon presiden, insya Allah saya bersedia."

Keputusan pengunduran dirinya dinilai berbagai pihak suatu keputusan yang elegan. Dalam perjalanan kariernya, Yudhoyono, memang selalu ingin tampak elegan baik dalam bertutur maupun bersikap. Sikap itu terlihat dalam beberapa peristiwa penting yang melibatkan langsung menantu Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo itu.

Proses pengunduran dirinya yang terkesan akibat tersisihkan dalam Kabinet Megawati telah mengangkat populeritasnya yang tercermin dalam perolehan suara Partai Demokrat pada Pemilu 2004 yang sangat signifikan, menduduki peringkat lima.

Langkah karir politik mantan Kepala Staf Teritorial Markas Besar Tentara Nasional Indonesia ini dimulai tanggal 27 Januari 2000 memutuskan untuk pensiun lebih dini ketika dipercaya menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Ketika itu ia masih berpangkat letnan jenderal dan akhirnya pensiun dengan pangkat jenderal kehormatan.

Kemudian pada 28 Mei 2001, bersama beberapa menteri tidak merekomendasikan rencana Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Dekrit Presiden. Bahkan tidak bersedia melaksanakan Maklumat Presiden yang menugaskannya sebagai Menkopolsoskam untuk mengambil langkah-langkah yang perlu untuk mengatasi krisis, memelihara keamanan, ketertiban dan hukum.

Akibatnya ia diberhentikan dengan hormat dari jabatan Menkopolsoskam pada 1 Juni 2001, kerena menolak rencana Presiden mengeluarkan Dekrit. Ketika ia ditawari jabatan Menteri Perhubungan atau Menteri Dalam Negeri namun ditolaknya.

Lalu pada Sidang Istimewa MPR-RI, 25 Juli 2001, ia dicalonkan memperebutkan jabatan Wakil Presiden yang lowong setelah Megawati Sukarnoputeri dipilih menjadi presiden. Ia bersaing dengan Hamzah Haz dan Akbar Tandjung.

Pada 10 Agustus 2001, Presiden Megawati mempercayai dan melantiknya menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong-Royong. Dia pun tampak menjalankan tugasnya dengan baik. Salah satu pelaksanaan tugasnya adalah mengumumkan pemberlakuan status darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada 19 Mei 2003, serta proses penyelesaian konflik Ambon dan Poso.

Hal itu sangat menguntungkan SBY yang sudah berancang-ancang untuk merrebut kursi presiden. Kemudian popularitasnya makin memuncak. Pertama kali dia masuk bursa calon presiden, ketika Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia menimangnya menjadi salah satu kandidat calon presiden dan wakil presiden. Kemudian, Partai Demokrat menyebutnya sebagai calon presiden, bukan calon wakil presiden.

Lalu iklan damainya muncul di berbagai stasiun televisi. Ia pun menjawab pertanyaan wartawan yang menanyakan soal tidak dilibatkannya dia dalam beberapa kegiatan kabinet yang menyangkut masalah politik dan keamanan. Lalu, suami Presiden Megawati, Taufik Kiemas menyebutnya kekanak-kanakan karena dinilai melapor kepada wartawan bukan kepada presiden (1/3/2004). Ia pun beruntung karena beberapa pengamat membangun opini bahwa ia sedang ditindas oleh Taufik Kiemas, suami Megawati.

Dalam pada itu, dua kali rapat kordinasi bidang Polkam batal dilakukan karena ketidakhadiran para menteri terkait. Tampaknya para menteri terkait tak lagi mempercayai dan menurutinya. Lalu pada 9 Maret 2004, dia pun menyurati Presiden Megawati mempertanyakan kewenangannya sekaligus minta waktu bertemu. Namun, Presiden tidak menjawab surat itu. Mensesneg Bambang Kusowo kepada pers mengatakan tidak seharusnya seorang menteri (pembantu presiden) mesti membuat surat meminta bertemu dengan presiden. Dia pun diundang mengahadiri rapat menteri terbatas. Tapi ia tidak datang.

Ia merasa suratnya tak ditanggapi. Lalu pada 11 Maret 2004, ia memilih mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam karena merasa kewenangannya sebagai Menko Polkam telah diambil-alih oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Tampaknya ia sadar bahwa kewenangannya sebagai Menko Polkam dan apa pun yang dilakukannya sebagai Menko Polkam adalah atas kepercayaan Presiden.

Lalu, malam harinya, di sebuah hotel, ia bertemu Abdurrahman Wahid yang diisukan sudah sejak beberapa waktu menimangnya menjadi calon presiden dari PKB.

Langkah pengunduran diri ini dinilai berbagai pihak membuatnya lebih leluasa menjalankan hak politik yang akan mengantarkannya ke kursi puncak kepemimpinan nasional. Pengunduran diri, jika jujur, sebaiknya telah dilakukan sejak dua tahun sebelumnya. Berbagai hasil polling memang selalu menempatkannya pada posisi terbaik, baik sebagai calon presiden apalagi sebagai calon wakil presiden. Polling TokohIndonesia DotCom menempatkannya sebagai calon wakil presiden yang paling puncak.

Hasil jajak pendapat yang diselenggarakan Centre for Political Studies-Soegeng Sarjadi Syndicated, yang diumumkan Selasa 30/7/2002, nama Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono menduduki urutan teratas (15,5 persen) untuk menjadi wakil presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri (presiden) dan urutan kelima (5,4 persen) berpasangan dengan Amien Rais. Jajak pendapat ini melibatkan 4.133 responden yang rata-rata terpelajar di kota Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan dan Makassar,

Penampilan yang tenang dan berwibawa serta tutur kata yang bermakna dan sistematis telah mengantarkan SBY pada posisi yang patut diperhitungkan dalam peta kepemimpinan nasional. Penampilan publiknya mulai menonjol sejak menjabat Kepala Staf Teritorial ABRI (1998-1999) dan semakin berkibar saat menjabat Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid) dan Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri).

Ketika reformasi mulai bergulir, SBY masih menjabat Kaster ABRI. Pada awal reformasi itu TNI dihujat habis-habisan. Pada saat itu, sosok SBY semakin menonjol sebagai seorang Jenderal yang Berpikir. Ia memahami pikiran yang berkembang di masyarakat dan tidak membela secara buta institusinya. "Penghujatan terhadap TNI itu menurut saya tak lepas dari format politik Orde Baru dan peran ABRI waktu itu," katanya.

Banyak orang mulai tertarik pada sosok militer yang satu ini. Pada saat institusi TNI dan oknum-oknum militernya dibenci dan dihujat, sosok SBY malah mencuat bagai butiran permata di atas lumpur. Seperti pengalaman yang hampir sama yang pernah dialami Jenderal Soeharto, ketika enam jenderal TNI diculik dalam peristiwa G-30-S/PKI, malah 'the smiling jeneral' itu berhasil tampil sebagai 'penyelamat' dan memimpin republik selama 32 tahun.

Siapa sesungguhnya SBY ini?

Ia yang pada masa kecil dan remajanya adalah penulis puisi, cerpen, pemain teater, dan pemain band. Pria tegap kelahiran Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949 ini senang mengikuti kegiatan kesenian seperti melukis, bermain peran dalam teater dan wayang orang. Beberapa karya puisi dan cerpennya sempat dikirimkan ke majalah anak-anak waktu itu, misalnya ke Majalah Kuncung. Sedangkan aktivitas bermain band masih dilaksanakan hingga tingkat satu Akabri Darat sebagai pemegang bas gitar. Sesekali masih juga menulis puisi.

Di samping kesenian, ia juga menyukai dunia olah raga seperti bola voli, ia senang travelling, baik jalan kaki, bersepeda atau berkendaraan. Sedangkan olah raga bela diri hingga saat ini masih aktif dilakukan.

Ia juga seorang penganut agama Islam yang taat. Darah prajurit Bapak berputra dua ini menurun dari ayahnya yang pensiun sebagai Letnan. Tekadnya sebagai prajurit kian kental saat kelas V SD (1961) berkunjung ke AMN di kampus Lembah Tidar Magelang. "Saya tertarik dengan kegagahan sosok-sosok taruna AMN yang berjalan dan berbaris dengan tegap waktu itu. Ketika rombongan wisata singgah ke Yogyakarta, saya sempatkan membeli pedang, karena dalam bayangan saya, tentara itu membawa pedang dan senjata," kenang SBY.

Pendidikan militernya dimulai di Akademi Militer Nasional (1970-1973). Ia adalah lulusan terbaik Akabri 1973 dengan menerima penghargaan Adi Makayasa. Pendidikan militernya dilanjutkan di Airborne and Ranger Course di Fort Benning, Georgia, AS (1976), Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, Georgia, AS (1982-1983) dengan meraih honor graduate, Jungle Warfare Training di Panama (1983), Anti Tank Weapon Course di Belgia dan Jerman (1984), Kursus Komandan Batalyon di Bandung (1985), Seskoad di Bandung (1988-1989) dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, AS (1990-1991). Gelar MA diperoleh dari Webster University AS.

Dalam meniti karir, SBY sangat mengidolakan Sarwo Edhi yang tidak lain adalah mertuanya sendiri. Dalam pandangannya, Sarwo Edhi adalah seorang prajurit sejati. Jiwa dan logika kemiliterannya amat kuat. Selain belajar strategi, taktik, dan kepemimpinan militer, mertuanya itu amat sederhana dalam hidup dan teguh dalam memegang prinsip-prinsip yang diyakini.

Tugas terberatnya sebagai Menko Polkam adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia bahwa keamanan di Indonesia dapat diwujudkan. Faktor keamanan inilah yang sering dijadikan investor asing untuk membatalkan rencana investasinya di Indonesia. Sedangkan dari dalam negeri, masyarakat sering kali merasa was-was dengan berbagai gangguan seperti teror bom yang kerap terjadi.

Persoalan lainnya adalah, upaya menghentikan pertikaian di daerah konflik, yang secara perlahan memperlihatkan kemajuan. Namun, karena besarnya masalah yang dihadapi, keberhasilan tugasnya itu sering tidak ditanggapi serius. Masih banyak pekerjaan besar menunggu untuk segera diselesaikan.

Menghadapi tugas berat, ternyata menjadi bagian sejarah hidup SBY yang sebelum menjadi menteri sempat diprediksi bakal menjadi orang nomor satu di lingkungan militer. Ketika Presiden KH Abdurrahman Wahid berkuasa, ia sempat diberi tugas untuk melobi keluarga mantan Presiden Soeharto. Maksud langkah persuasif yang dilakukannya itu agar keluarga cendana bersedia memberikan sebagian hartanya kepada rakyat dan bangsa. Khususnya untuk membawa pulang harta keluarga Soeharto yang diperkirakan masih tersimpan di luar negeri. Padahal saat itu masyarakat tengah menunggu dengan seksama hasil peradilan orang kuat Orde Baru tersebut.

Presiden Wahid pada awal tahun 2001 pernah memintanya untuk membentuk Crisis Centre. Dalam lembaga nonstruktural ini Presiden Wahid meminta Yudhoyono menjabat sebagai Ketua Harian dan menempatkan pusat informasi atau kegiatan (operation centre) di kantor Menko Polsoskam. Lembaga baru ini berfungsi untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden Wahid dalam menjawab berbagai persoalan. Termasuk di antaranya sikap Kepala Negara dalam merespon pemberian dua memorandum oleh DPR.

Walau berulang kali menerima kepercayaan bukan berarti Yudhoyono ‘lembek’ dalam menghadapi Presiden Wahid. Ketika terdengar kabar Presiden Wahid ngotot akan menerbitkan dekrit pembubaran DPR, maka, bersama Panglima TNI Laksamana Widodo AS dan jajaran petinggi TNI lainnya, ia meminta Gus Dur mengurungkan niatnya.

Siapa nyana, setelah batal menerbitkan dekrit, Presiden Wahid malah mengeluarkan maklumat. Di sini pun Yudhoyono lagi-lagi mendapat ujian karena Kepala Negara menunjuknya sebagai pejabat yang bertanggung jawab untuk menegakkan keamanan dan ketertiban di Indonesia dalam menghadapi Sidang Paripurna yang dikhawatirkan banyak pihak bakal menimbulkan konflik di masyarakat. Tak lama setelah itu, Gus Dur malah melengserkan jabatan SBY. Dalam Sidang Istimewa MPR, giliran Gus Dur yang diturunkan dari kursi presiden dan digantikan Megawati.

referensi : www.tokohindonesia.com

0 komentar:

Post a Comment

 
Biografi | @yogieprastyo2009